Oleh : Wyda Asmaningaju
Dok. Pribadi
Setiap anak memiliki keunikan masing-masing termasuk dalam kemampuan berpikir. Seorang anak yang cerdas memiliki kemampuan berpikir lebih cepat dan tepat. Dia biasanya memiliki sisi kreatif yang tinggi dan mudah berkonsentrasi. Sifat-sifat ini pun dimiliki oleh Arya. Tetapi beberapa kelemahannya adalah susah untuk diajak berkelompok dan cenderung merasa bosan dalam segala hal termasuk belajar serta bermain. Dia lebih suka melakukan pekerjaan sesuai dengan mood nya saja.
Suatu malam di kediaman Siti.
“Arya…ayo masuk.. sini belajar sama ayah.”Sumaji memanggil Arya yang dari tadi bermain di lapangan depan rumah.
Mendengar teriakan ayahnya Arya berlari masuk ruang tamu.
“Ayah, aku pingin jadi pemain sepak bola seperti temanku Fikri.” Kata Arya sambil mengguncang pundak ayahnya.
“Disuruh belajar malah minta jadi pemain sepak bola.” jawab Sumaji dengan gusar.
“Ayo yah..Fikri sudah jadi keeper sekarang.”
“Ya besuk sore latihan lagi sama teman-teman nanti lama-lama akan pintar sendiri.”
“Maksudnya aku pingin ikut club sepak bola, seperti kebanyakan mereka.”
“Ah.. gak usah macam-macam, cukup sekolah saja.”
“Ih… ayah pelit. Tidak seperti ayahnya Fikri.” bentak Arya kesal
“Hussh kamu kecil-kecil sudah berani bantah orang tua.”
Hardik Sumaji sembari mendorong tubuh Arya.
Arya yang merasa sakit lututnya karena terjatuh menangis sekencang-kencangnya.
“Ibu…ibu .ayah jahat…” sambil mengusap-usap lututnya.
Dari belakang Siti yang menemani Sarah belajar melompat keluar mendatangi suara itu.
“Ada apa Arya sayang?”
“Ayah jahat bu. Tadi mendorong saya.”
“Huussh… tidak boleh ngomong begitu. Apa yang terjadi mas?” Siti menutup pmulut arya dengan lembut sambil mendongak ke arah suaminya.
“Tak suruh belajar malah berani sama aku. Itu tadi dia ngamuk minta ikut club sepak bola.”
“Anak sholeh ibu. Kenapa marah-marah?” Ucap Siti sambil membelai rambut Arya.
“Habis..ayah pelit. Tuh lihat temanku banyak yang ikut club jadinya pinter main bolanya.” Arya mengusap matanya dengan kaos birunya.
“Arya sabar ya .. ayah bukannya pelit sayang, tapi sementara ini Arya fokus sekolah dulu saja biar tidak terganggu belajarnya.”
Mendengar penuturan ibu yang juga belum bisa memuaskan, Arya masih menyimpan rasa benci terhadap ayahnya. Dia masih terus memiliki kemauan dan keinginan untuk menjadi pemain sepak bola terkenal. Keinginan kuat seorang anak yang biasanya tidak terpenuhi membuatnya menjadi seorang pembangkang.
Bulan berganti tahun, Arya sering membuat kekacauan di rumah dan di luar sering berkelahi dengan temannya yang pada akhirnya membuat ayahnya jengkel dan marah. Tidak jarang Arya kena pukul ayahnya baik dengan tangan kosong maupun dengan alat sekenanya. Semakin hari semakin sulit dimengerti apa maunya. Di Sekolah dia jarang masuk kelas bahkan sering nongkrong di kantin saat jam pelajaran. Seringkali uang sekolah tidak dibayarkannya melainkan dibuat jajan sehingga menumpuk sampai satu semester baru ketahuan setelah rapotan. Sehingga mengharuskan Siti sendiri yang membayarkannya ke Sekolah. Arya bersekolah di SMP negeri karena pada dasarnya anaknya pintar dan cerdas. Melalui rekap kehadiran yang jarang masuk pada ahirnya dari hasil rapat guru-guru memutuskan dia tidak naik kelas. Dengan begitu Arya merasa malu sehingga meminta ibunya mendaftarkan ke sekolah swasta yang kurang ternama sehingga membuat dia semakin banyak berulah.
Seiring berjalannya waktu, Arya menjadi seorang remaja yang gagah dengan kumis tipis menghias di atas bibir. Kulitnya sawo matang dengan ukuran tubuh cukup tinggi menjadikannya semakin menawan. Usianya sudah menginjak 17 tahun dan menjadi salah satu siswa kelas 11 di sebuah SMK swasta. Tetapi dengan bertambahnya usia, dia tidak semakin dewasa melainkan semakin banyak kekacauan yang diciptakan.
“Apa kamu tidak sekolah Arya?” tanya Sumaji pada suatu pagi.
“Sekolah yah..tapi nanti siang.”
“Bukannya masuknya pagi sekolahmu?”
‘Ya, yah..nanti siang. Sekarang gurunya masih rapat.” Arya sering membuat berbagai alasan yang tidak masuk akal yang terpenting menghindar dari pertanyaan yang membosankan baginya.
Sarah yang sudah 2 tahun menginjak bumi kampus merasakan ada sesuatu yang ganjil terhadap adiknya. Suatu hari setelah perkuliahan selesai dia mendatangi sekolah Arya untuk melihat apakah adiknya berada di sekolah atau tidak. Dengan mengendarai motor, Sarah menempuh jarak yang tidak begitu jauh dari kampusnya. Setelah sampai di depan pintu gerbang, dia mematikan mesin kemudian memarkir sepeda dan menuju kantor kepala sekolah.
“Assalamu’alaikum pak.”
“Wa’alaikum salam. Silakan masuk mbak.” Pak Dirman menunjuk kursi kosong sambil menggeser ke belakang.
“Maaf pak saya mengganggu. Perkenalkan saya Sarah. Adik saya Arya kelas 11 jurusan mesin. Mau menanyakan perkembangan adik saya di sekolah.”.
“Oh kalau begitu saya pangilkan wali kelasnya ya mbak.”
Tidak begitu lama seorang wanita dengan baju biru muda bermotif bunga beberhijab biru tua sudah duduk di samping Sarah.
“Perkenalkan saya Bu Retno wali kelas Arya.” Sambil bersalaman.
“Ya bu saya Sarah, kakaknya Arya. Bagaimana perkembangan adik saya kalau di Sekolah, bu?”
“Kalau melihat rekap kehadiran sepertinya Arya jarang masuk. Ini coba lihat seminggu cuma masuknya 2 sampai 3 hari.”
“Hah.. ada apa dengan Arya?” Serasa dihantam dadanya sesak Sarah kaget sambil menerawangkan pandangan jauh ke belakang.
“Mohon maaf bu, selama ini saya dan orang tua tidak tahu kalau adik saya sering bolos, padahal setiap hari masuk dan memakai seragam sekolah.” Tutur Sarah pilu.
“Begini saja mbak tolong ditanya baik-baik adiknya mungkin punya alasan bolos sekolah.”
“Iya bu terima kasih banyak atas infonya. Saya akan sampaikan ke orang tua. Saya mohon diri sekarang.”
Sarah berpamitan dan menuju rumah dengan perasaan sangat sedih.Antara menjaga hati orang tua dan mengungkapkan kenyataan pahit. Dengan berat hati Sarah menceritakan kepada ayah ibunya tentang semuanya. Seketika Sumaji yang tempramen menanti kehadiran Arya yang sudah lama membohongi dirinya. Hampir menjelang maghrib Arya memasuki rumah dengan berseragam lengkap.
“Arya kenapa kamu bohong!” Sumaji tidak sabar menunggu kedatangannya sambil membawa sapu lidi di tangannya.
“Bohong apa yah?’
‘Kamu sudah lama bolos sekolah. Terus kemana saja selama ini?” Tangannya menyabetkan sapu ke kaki Arya yang spontan menghindar.
“Ya main. Pelajaran di sekolah gak asyik.” Jawab Arya asal-asalan.
“Orang tua cari uang supaya kamu bisa sekolah tapi malah di buat main-main.” Sumaji sekali lagi memukulkan sapu ke tangan Arya.
“Kalau gak iklhas nyekolahkan aku ya sudah tak keluar saja.” Wajah Arya kemerah-merahan sambil menahan sakit.
Dari belakang Siti dan Sarah keluar mendengar teriakan ayah dan anak itu.
“Arya kenapa membohongi kami nak?” Tangan Siti merajuk tangan Arya yang penuh goresan luka.
“Saya sudah muak dengan semua ini, ayah jahat dan tidak ikhlas menyekolahkan aku. Jadi aku keluar saja” Teriak Arya sambil merampas dan membanting sapu lidi yang dipegang ayahnya.
“Kamu sudah berani sama aku.”
“Astaghfirulloh…sadar nak, apa kamu tidak ingin kuliah seperti kakakmu?” Siti memelas dengan nada sedih.
“Gak usah bu daripada buang-buang uang. Biar aku cari jalanku sendiri.” Arya berlalu ke belakang mandi dan ganti baju lalu keluar rumah lagi.
Sarah dan Siti saling berpandangan tanpa bicara hanya bahasa tubuh mereka yang mengisyaratkan kasihan dengan tumbuh kembang Arya. Penidikan dari rumah yang tidak seimbang antara ayah yang keras dan ibu yang lemah lembut membuat adiknya menjadi korban. Seketika Sarah memasuki kamar dan tangisannya lirih mendekap bantal terus mewarnai malam itu.
BERSAMBUNG